Oleh Sjafrie Sjamsoeddin
”Prajurit
TNI bukanlah prajurit yang mudah dibelokkan haluannya karena tipu dan
nafsu kebendaan. Ia, karena keinsafan jiwanya atas panggilan Ibu
Pertiwi, bersedia membaktikan raga dan jiwanya bagi keluhuran bangsa dan
negara.”
Perintah Harian Panglima Besar Letnan Jenderal Sudirman, 5 Oktober 1949
Sebagai
prajurit dan pejuang TNI, perintah harian 5 Oktober 1949 itu sangat
bermakna sebagai rambu dan navigasi dalam mengabdi kepada bangsa dan
negara.
Sejak seorang
prajurit mengawali kehidupan keprajuritan dengan mengucapkan Sumpah
Prajurit dan Sapta Marga, ia berada dalam suatu ikatan moral dan
kewajiban profesional. Kualitas kepemimpinannya ditempa oleh berbagai
ujian dan cobaan.
Prajurit
TNI dituntut untuk membuktikan apakah ia seorang prajurit yang mampu
dan sanggup memikul beban tanggung jawab pengabdian, yang sarat
kualitas dan integritas.
Seorang
prajurit tentu ingat saat memulai basis militer sebagai seorang calon
prajurit. Saat itu, ia tidak punya hak menerima penghormatan karena
belum memiliki kepangkatan apa pun. Sebaliknya, ia wajib menghormati
atasan yang memiliki kepangkatan. Proses ini dijalani oleh prajurit
sejalan dengan masa pengabdiannya. Ibarat naik tangga, saatnya
penghormatan diterima ketika ia sampai pada puncak karier sebagai
prajurit.
Tantangan,
tuntutan, dan godaan justru hadir pada saat seorang prajurit sedang
menerima penghormatan. Pada masa itu bisa terjadi seorang prajurit
”lupa” dan ”celaka” atas sikap dan perilaku diri, seperti yang
diingatkan oleh Pak Dirman.
Pengalaman
menunjukkan, ”lupa” dan ”celaka” dapat terjadi pada siapa saja yang
diberi atribut kewenangan oleh negara. Hal itu terjadi terutama ketika
tidak ada check and balance atas setiap langkah yang diambil, apakah
sudah tepat secara aturan, peraturan, dan terutama moral.
Di
sini pertempuran harus dimenangi prajurit agar terhindar dari
”kerusakan moral” yang berakibat pada hilangnya rasa hormat dari
bawahan, kolega, bahkan masyarakat. Di sini pula ukuran ”kehormatan”
menjadi taruhan yang tidak terhapus sampai menjadi jasad.
Zaman sulit
Harus
diakui, kita hidup di zaman yang sulit dengan godaan begitu tinggi.
Konsumtivisme menjadi gaya hidup yang tidak bisa dihindari. Semua orang
seakan berlomba ke arah sana karena sarat dengan kenikmatan.
Sebagai
bagian dari masyarakat, prajurit TNI tentu tidak bisa lepas dari
godaan itu. Sedikit banyak kehidupan masyarakat luas memengaruhi juga
kehidupan prajurit dan keluarganya.
Pengalaman
bangsa-bangsa lain, semua berlangsung melalui proses panjang. Mereka
telah melewati proses yang menghasilkan sikap disiplin, etos kerja,
dan menghormati waktu. Dari sanalah bangsa-bangsa itu kemudian
menghasilkan produk dan bahkan produk berkembang menjadi produk-produk
turunan yang semakin beragam.
Hasil
dari kerja keras itu membuat bangsa-bangsa tersebut ingin
menikmatinya. Konsumtivisme merupakan ekspresi dari keinginan untuk
menikmati hasil kerja keras yang panjang.
Kita
pun harus melewati proses panjang dan melelahkan itu agar kemudian
bisa menghargai kerja keras yang dilakukan. Konsumtivisme jangan hanya
sekadar gaya hidup agar tidak berkelebihan dan bahkan melewati
batas-batas kepantasan.
Bagaimanapun
gaya hidup modern harus bertumpu pada jati diri kita sebagai bangsa.
Kita tidak ingin menjadi bagian masyarakat global tanpa pernah tahu
akar budaya dari bangsa ini.
Perintah
Harian Panglima Besar Sudirman pada 1949 sudah menangkap pertanda
zaman itu. Prajurit TNI diingatkan untuk tidak mudah dibelokkan oleh
tipu dan nafsu kebendaan. Dengan berpegang pada panggilan untuk
menjaga keluhuran bangsa dan negara, kehormatan prajurit TNI akan bisa
dijaga.
Godaan kekuasaan
Satu
hal lagi yang senantiasa harus dijaga prajurit TNI adalah godaan
kekuasaan. Setiap kali tanggung jawab jabatan datang haruslah diingat
bahwa itu bukanlah kesempatan untuk mendapatkan sesuatu, melainkan
justru kesempatan untuk memberi kepada negeri.
Godaan
kekuasaan merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Semua orang pada
suatu masa pasti dihadapkan pada godaan itu. Pada abad ke-19, Lord
Acton bahkan sudah mengingatkan kita semua bahwa: ”Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Kesadaran
diri pribadi menjadi kunci bagi setiap prajurit TNI untuk tidak
”lupa” dan ”celaka”. Pendidikan prajurit TNI sudah mengingatkan semua
anggota TNI untuk tidak goyah dalam menjalankan prinsip kehormatan.
Oleh
karena itu, marilah para prajurit dan pejuang TNI senantiasa menabung
kehormatan saat menerima penghormatan dengan mawas diri dan waspada
dengan harapan kehormatan menjadi bonus abadi saat penghormatan
berakhir pada masanya. Dirgahayu ke-67 TNI.
Sjafrie Sjamsoeddin Wisudawan Pati TNI AD 2011
www.kompas.com
Labels: Indonesia